Permahi Gorontalo Nilai Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto sebagai Cermin Kedewasaan Bangsa

Permahi Gorontalo Nilai Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto sebagai Cermin Kedewasaan Bangsa

Permahi Gorontalo Nilai Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto sebagai Cermin Kedewasaan Bangsa---Dok.Ist

GORONTALO, DISWAY.ID - Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Gorontalo, Moh. Sahrul Lakoro, menilai bahwa wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, seharusnya dipahami bukan sebagai upaya melupakan luka sejarah, melainkan sebagai bentuk kedewasaan bangsa. 

Menurut Sahrul, pernyataan Megawati Soekarnoputri yang menolak pemberian gelar tersebut karena “luka sejarah yang belum sembuh” menggambarkan sisi emosional dan traumatis personal yang belum sepenuhnya terselesaikan. Meski demikian, ia berpendapat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang berani memahami sejarahnya secara utuh, dengan menghargai jasa tanpa mengabaikan kesalahan.

“Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Mengakui jasa Soeharto tidak berarti menutup mata terhadap kekeliruan masa lampau. Justru di situlah letak kebesaran bangsa yang mampu menilai dengan jujur, bukan dengan dendam,” ujar Sahrul di Gorontalo, Sabtu (8/11/2025).

Menurut Sahrul, yang dibutuhkan bangsa saat ini bukanlah melupakan masa lalu, melainkan menghadapinya dengan keberanian moral. 

BACA JUGA:PT Mahakam Sumber Jaya Tegaskan Miliki Izin Operasi Tambang dan Apresiasi Langkah Satgas PKH Berantas Tambang

“Rekonsiliasi sejati hanya dapat lahir dari pengakuan terhadap kebenaran sejarah. Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam ingatan yang tak selesai,” ujarnya.

Dalam pandangannya, menilai kelayakan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional harus dilakukan secara proporsional dan objektif. Sahrul menegaskan, sejarah tidak bisa dibaca secara hitam-putih.

“Soeharto membawa Indonesia pada masa pembangunan dan stabilitas nasional yang panjang, mulai dari swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, hingga penguatan posisi Indonesia di dunia internasional. Selain itu, sejarah Soeharto adalah mosaik yang kompleks, ada jasa besar yang patut dihargai, tapi juga ada sisi gelap yang harus diakui. Keadilan sejarah menuntut keberanian untuk melihat keduanya secara jernih,” tambahnya.

Sahrul menekankan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional merupakan keputusan negara yang tidak boleh didasarkan pada emosi atau kepentingan politik. Penilaian tersebut harus berpijak pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang mensyaratkan dua hal utama, jasa luar biasa dan keluhuran moral.

BACA JUGA:Dinkes Gorontalo dan Kemenkes RI Genjot Percepatan Desa ODF dan Kabupaten Sehat 2025

“Soeharto jelas memenuhi kriteria jasa luar biasa terhadap bangsa. Adapun aspek keluhuran moral perlu dikaji secara menyeluruh, bukan untuk menghakimi masa lalu, tapi untuk menegaskan bahwa penghargaan negara adalah bentuk legitimasi moral yang berdasar,” ujarnya.

Lebih jauh, Sahrul menilai bahwa penghargaan terhadap Soeharto bisa menjadi momentum moral untuk memperkuat rekonsiliasi nasional. Menurutnya, rekonsiliasi bukanlah penghapusan memori, tetapi penyembuhan melalui kejujuran.

“Jika bangsa ini bisa menghargai jasa Soeharto tanpa meniadakan luka yang ditinggalkannya, itu menunjukkan bahwa kita sudah dewasa secara politik dan moral,” katanya.

Ia menambahkan, bangsa Indonesia dapat menjadikan proses ini sebagai pembelajaran penting untuk membangun pendidikan sejarah yang lebih jujur, terbuka, dan plural.

Sumber: